Sarah Serat Sabdo Jati Ronggo Warsito

Sunday, February 28, 2010


Sarah Serat Sabdo Jati Ronggo Warsito
Pupuh Megatruh

1. Hawya pegat ngudiya ronging budyayu, Margane suka basuki, Dimen luwar kang kinayun, Kalis ing panggawe sisip, Ingkang taberi prihatos.
Janganlah berhenti, selalu berusaha berbuat kebajikan, agar mendapat kegembiraan, keselamatan serta tercapai segala cita-cita, terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh, Galedehan kang sayekti, Talitinen awya kleru, Larasen sajroning ati, Tumanggap dimen tumanggon.
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama segala sesuatu sebagaimana adanya. Telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati, agar mampu menangkap dan menempatkan.

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, Angayomi ing tyas wening, Eninging ati kang suwung, Nanging sejatining isi, Isine cipta sayektos.
Cara menempatkannya adalah dengan senantiasa menyelaraskan dengan keindahan, melindungi di dalam kejernihan hati. Kejernihan hati yang kosong, namun sebenarnya berisi. Isinya adalah cipta yang sejati.

4. Lakonana klawan sabaraning kalbu, Lamun obah niniwasi, Kasusupan setan gundhul, Ambebidung nggawa kendhi, Isine rupiah kethon.
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran hati. Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan) akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul, yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.

5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu, Dadi panggonaning iblis, Mlebu mring alam pakewuh, Ewuh mring pananing ati, Temah wuru kabesturon.
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, mamasuki alam kecanggungan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik, hingga jiwanya menjadi terganggu.

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu, Hayuning tyas sipat kuping, Kinepung panggawe rusuh, Lali pasihaning Gusti, Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjur demikian, tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan cinta kasih Tuhan. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping dari dirinya.

7. Parandene kabeh kang samya andulu, Ulap kalilipen wedhi, Akeh ingkang padha sujut, Kinira yen Jabaranil, Kautus dening Hyang Manon.
Namun demikian yang telah “melihat”, matanya bagai kemasukan pasir, banyak yang menyerah pada keadaan, menganggap bahwa Jabaranil adalah utusan Tuhan.

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh, Kewuhan sajroning ati, Yen tiniru ora urus, Uripe kaesi-esi, Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang menyadari akan hakikat perintah, sebenarnya repot didalam pikiran melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan tercela, akan disia-siakan, akhirnya menjadi sengsara.

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, Kalamun temen tinemu, Kabegjane anekani, Kamurahane Hyang Manon.
Tidak percaya kepada kegaiban Ilahi, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya dalam menemukan kebenaran, ia akan memegang keberuntungan. Semua itu karena kemurahhatian Tuhan.

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing pitulung, Nora kurang sandhang bukti, Saciptanira kelakon
Selalu memenuhi permohonan bagi yang meminta, bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, tidak kurang bukti-bukti yang tampak, sekehendaknya akan tercapai.

11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur, Saka pengunahing Widi, Ambuka warananipun, Aling-aling kang ngalingi, Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah, Ki Pujangga dengan izin Tuhan akan membuka selubung yang menjadi rahasia Tuhan. Selubung yang menutupi sebuah rahasia, sehingga dapat diketahui.

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh, Sudranira andadi, Rahurune saya ndarung, Keh tyas mirong murang margi, Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam zaman canggung, cenderung merusak. Kerusakan yang ditimbulkannya makin menjadi-jadi. Banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan diatas rel kebenaran, kasekten sudah tidak tampak.

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh, Kenyaming sasmita sayekti, Sanityasa tyas malatkunt, Kongas welase kepati, Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin dalam diri orang yang mempunyai kasekten, merasakan sasmita tersebut, senantiasa merenung. Angkara murka sudah mengalahkan cinta kasih. Zaman penuh keprihatinan tersebut.

14. Waluyane benjang lamun ana wiku, Memuji ngesthi sawiji, Sabuk tebu lir majenum, Galibedan tudang tuding, Anacahken sakehing wong
Zaman Canggung itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877 (Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945). Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik menunjuk kian kemari, seolah menghitung banyaknya orang.

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu, Kala Suba kang gumanti, Wong cilik bisa gumuyu, Nora kurang sandhang bukti, Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru mereda Zaman Kala Bendu. Diganti dengan Zaman Kala Suba. Rakyat kecil bersuka ria, inilah tanda-tanda sebagai bukti bermulanya suatu zaman. Tercapai satu tujuan bersama.

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali “penglihatan” Ki Pujangga belum sampai tuntas, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

17.Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon neng lokil makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon.
Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah ditentukan waktunya. Jelas tertulis di Laufil Magfuz. Kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.

18. Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu marjayeng janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara, kira-kira waktu Lohor. Ketika matahari tepat di tengah-tengah. Tiada mungkin mengangguhkan kematian. Itulah saat yang ditentukan Ki Pujangga menyatu dalam Ketunggalan.

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur, Sawal ing tahun Jimakir, Candraning warsa pinetung, Sembah mekswa pejangga ji, Ki Pujangga pamit layoti
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802. Ki Pujangga pamit pada jasad. (Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1, bertepatan dengan tahun masehi 1873).

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

flagcounter

free counters

Followers

 
Copyright © celoteh camar liar